“Perekonomian Indonesia tumbuh mencapai 7,07 persen pada kuartal II/2021 secara tahunan (year-on-year/yoy), melonjak tinggi dari kuartal II/2020 di mana terjadi kontraksi sebesar -5,32 persen.” Demikian kutipan lead berita—hampir seluruh media— menulisnya.
Sebelum saya menulis lebih lanjut, disclaimer dulu, saya bukan praktisi ekonomi, pun juga akademisi ekonomi. Namun pertumbuhan itu saya rasa kurang sreg— dalam hati— sebab ada faktor mungkin yang belum diungkap dalam survei BPS—notabene lembaga survei milik negara—
Pertumbuhan itu— meminjam istilah ekonom Indef Andry Satrio— adalah semu. Tak hanya semu, angka statistik diramu hanya untuk mencapai titik temu keadaan tertentu. Sehingga jadi gambaran jenuh. Selain itu, angka pertumbuhan yang diklaim Indonesia keluar resesi, menunjukkan bahwa kesehatan rakyat dikesampingkan, di kala pandemi terjadi.
Angka statistik BPS menunjukkan peningkat angka ekonomi terjadi sebab pelonggaran mobilitas. Tercatat periode April hingga Juni orang bebas keluar rumah. Akibatnya angka rakyat terpapar Covid-19 meningkat—ini mahal sekali— mengorbankan rakyat dengan sakit tak ada obatnya ini.
Dan kalau mau terus terang, ini kekhawatiran saya, juga prediksi saya, pemerintah hanya mementingkan ekonomi ketimbang menekan angka pandemi. Semua itu telah kutulis dalam buku—berseri soal Pandemi—
Angka statistik pun masih menunjukkan di mana tumpuan ekonomi masih tetap pada konsumsi rumah tangga. Itu pun juga dibantu sebab Ramadhan dan Lebaran. Pun ini membuktikan kebijakan larangan mudik dilakukan pemerintah gagal. Saya merasa kebijakan larangan tersebut lupa service semata.
Terbukti, pasca momen lebaran, angka Covid-19 melonjak drastis. Bahkan sudah menembus angka satu juta, bahkan sumber pemerintah menyebut 2 juta—meski kemudian diralat kembali— sudah jadi budaya ralat meralat pernyataan di tubuh pemerintah.
Lupakan dulu pertumbuhan kuartal-2. Kita harus siap mental dengan angka pertumbuhan kuartal-3. Sebab, PPKM level-level—seperti tingkat kepedasan makanan kekinian— ini terjadi. Saya yakin ekonomi kembali menurun. Pengetatan kegiatan masyarakat kembali dilakukan. Orang kembali bekerja hanya di rumah—kecuali sektor tertentu yang sudah diatur.
Kontradiktif
Pertumbuhan ekonomi tidak mampu menyerap lapangan kerja. Justru banyak PHK. Sehingga menambah angka pengangguran. Lagi, soal argumen pelaku Industri sudah mulai berjalan, saya rasa pelaku Industri sekarang banyak yang bergerak di industri padat modal saja. Bukan industri padat kerja.
Jadi rumus setiap pertumbuhan ekonomi 1 persen mampu menyumbang pertambahan lapangan kerja jadi 400 ribu tenaga kerja tidak bisa digunakan lagi. Karena itu, patut dipertanyakan mengenai relevansi dan manfaat dari UU Omnibus Law Cipta Kerja itu sendiri. Melenceng dari tujuannya.
Kemudian, padat karya dan UMKM harus ditingkatkan porsinya untuk situasi seperti sekarang. Ironis lagi, statistik perkara naik di pengadilan niaga ini berarti indikator perusahaan banyak mau di PKPU kan soalnya mau dipailitkan. Ini juga harus menjadi perhatian serius.
Melihat gejala tersebut masih ada. Ke depan belanja pemerintah harus ada kepastian. Tidak boleh seenaknya refocussing program dan realokasi anggaran. Lantas Dana Pemulihan Ekonomi Nasional sangat besar jangan hanya untuk industri besar saja.
Kemudian Industri manufaktur, buruhnya harus sudah vaksinasi 100 persen. Supaya transimisi virus tidak massif. Semoga angka statistik tak semu, sehingga bukan menjadikan gambaran yang jenuh.
Dr. H. Irwan, S.IP.,MP (Anggota DPR RI Dapil Kaltim)



Recent Comments